Tulisan ini sebenernya sudah lama tersimpan di draft, baru sempat aku post karena baru punya paketan, ya maklum saja mahasiswa (alasan) duitnya terbatas.

Seperti biasanya, menjelang waktu ujian akhir semester, teman-teman dengan sangat kompak berganti status lebih sering dari biasanya. Entah recent update bbm, line, twitter, path serta media sosial lainnya. Tak ketinggalan beredarnya foto-foto yang menggambarkan perasaan mereka. Intinya cuma satu, tugas! Aku pun merasakan hal yang sama, lelahnya menjadi mahasiswa itu mungkin di tugas yang padahal bobot penilaiannya hanya 10%.
Tugas di akhir semester ini memang makin ga karuan, menyita perhatian melebihi pacar yang manja, mengharapkan pengertian yang teramat agar dapat segera diselesaikan. Ditambah deg-deggannya menunggu perkembangan dari keputusan panitia ppl, rasanya cukup wajar semua keluhan itu. Ditengah pikiran yang seperti pohon rambutan, banyak cabangnya, aku berhenti mengerjakan tugas-tugas dan mulai membuka berkas-berkas seminar proposal, rencananya jadwal seminarku minggu ini. Resiko punya nama di absen-absen terakhir.
Setelah beberapa jam berkutik dengan kata, kalimat, paragraf yang menjadi kesatuan dan mampu membuat otak kebliwet, kututup saja laptop itu seraya berteriak sodakallahuladziim.
Aku mulai menyalakan televisi karena tau ada jadwal debat capres. Pemilu kali ini terlihat antusias masyarakat yang lebih dari biasanya. Mereka menyuarakan dengan lantang tentang siapa pilihannya. Dan tak jarang menjelekan lawan dari presiden pilihannya, kadang aku ingin bertanya jelek-jelekin capres yang bukan pilihannya gitu emang pada dibayar berapa sih? Nanya doang….
Dalam debat itu ada satu hal yang membuatku tersenyum  dan mengingat tentang beberapa tahun lalu saat Yang Kuasa memberi candaan hidup kenaikan kelas. Iya, saat kami tersandung dan jatuh.
Seandainya dulu Dia tak membuat kami tersandung, mungkin aku akan terus tumbuh menjadi anak sombong yang penuh keangkuhan. Terlalu manja dan tak mau tau tentang orang lain, yang kutau, mereka semua “baik” terhadapku.
Seandainya dulu Dia memasukkan ku ke SMP favorit pilihan ibu, mungkin aku tak akan tau seperti apa rasa kecewa. Bagaimana rasanya menangis berhari-hari karena sakit dihati tak mudah terhapus, bukan karena aku tak berhasil tapi karena itu keinginan ibu yang gagal kupenuhi. Hanya bisa pasrah, dan merasakan cambukan yang membuat ku makin giat belajar, bahkan selalu mendapat peringkat umum pun tak membuatku sejenak ingin beristirahat.
Seandainya dulu Dia tak memasukkan ku ke SMP yang telah menjadi almamater dan jembatan pendidikan ku, mungkin aku tak akan bisa sampai di semester 6 ini. Aku pasti sudah putus sekolah karena masalah biaya. Kenapa? Karena saat aku SMP, pemerintah sedang galak-galaknya menjalankan program wajib belajar 9 tahun. Aku pun mulai menikmatinya dipertengahan tahun, dan baru ku ketahui ternyata di sekolah yang gagal ku masuki ada suatu permaianan pemimpin yang membuat murid-murid disana harus tetap membayar iuran yang menurutku cukup besar. Aku ga akan membahasnya karena tulisan ini sama sekali tak bermaksud untuk memojokan suatu golongan.
Dan karenanya aku yakin, Dia selalu beri yang kita butuh, bukan yang kita ingin, semua akan tepat waktunya. So enjoy the questions and forget the answers, we’re never understand the miracle of life. Tugas kita adalah untuk terus berusaha, jangan mau kalah dan menyerah, you know? When one door closes, another opens. Or you can open the closed door, that’s how doors work hehe maap, cuma ngingetin kalau hidup itu lucu yah…suka bercanda.
Ternyata aku sempat menjadi anak yang tak punya arah dan memilih untuk menyerahkannya pada yang kuasa. “Terserah mau jadi apa dan dibawa kemana, aku pasrah" pikirku. Lalu Dia menarikku dari jurang gelap itu, menuntunku perlahan dan berkata "Kuarahkan kau kesana, tapi Aku hanya bisa menarikmu sampai sini, sekarang semua kembali lagi pada dirimu. Mau terus berusaha keluar dan mencapai cerahnya keadaan diatas sana, atau tetap berdiam dan tetap jatuh di dalam."
Kemudian setelah menimbang semua kebaikan dan nikmat yang Ia beri, sungguh tidak adil rasanya jika aku menyerah begitu saja, maka kuputuskan untuk meneruskan perjalanan ini, entah apa yang ada diatas sana, entah apa yang menanti didepan sana, lelah itu pasti, takut pun menjadi hal yang sering menghampiri.
Tapi Dia datang mengingatkan akan hal yang menenangkan, "Satu yang kujanjikan, aku selalu ada di dekatmu, melebihi urat yang menempel di lehermu. Berusahalah, berdoa kepadaKu, niscaya akan kuperkenankan kepadamu.."
Hingga kini Dia terus buktikan janjinya, dan aku hanya mampu berucap syukur saat semua mulai berbuah. Memang, hidup telah menunjukan dengan caranya sendiri, bahwa aku senantiasa dipandu. Terima kasih.