Sore ini kubuka
jendela kamarku saat hujan sedang turun memanjakan bumi, denting air yang turun merdu dengan
wanginya yang sangat ku kenal, aroma tanah kering yang telah tertutupi
dahaganya. Ahh ternyata hujan masih menjadi salah satu hal favoritku, dia
melahirkan damai seperti sihir. Tetes-tetes anugrah dari Yang Maha Kuasa ini
selalu bisa membuatku nyaman, dan mampu menghadirkan senyum tanpa sadar. Berbahagialah kita yang masih bisa menikmati kebahagiaan.
Udara dingin berhembus
dan menyapa tanganku yang sedang menggenggam secangkir teh manis hangat ditangan,
merayuku untuk ikut dengannya melewati lorong waktu dan sampai dimasa lalu.
Masih sama seperti dulu,
hujan adalah momen yang menggembirakan. Sewaktu kecil aku dan kakakku pun selalu
sigap berhamburan untuk bergabung dengan teman-teman lain menikmatinya. Meski setelahnya
ibu akan marah dan melarang kami mengulanginya, Beliau sangat khawatir jikalau kami
-anak-anak tercintanya- akan jatuh sakit. Hmm..mereka para orangtua memang selalu
melakukan apa-apa yang hanya kita mengerti beberapa tahun kedepan.
Pada tulisan kali ini saya tidak akan membicarakan tentang
filosofi hujan, atau makna dibalik hujan menurut para ahli, juga tidak tentang pengaruh
kadar intensitas hujan terhadap pulihnya permukaan bumi (*ehh nyeleweng) sudah-sudah,
tutup kembali buku filsafat yang mulai bermunculan di kepala. Karna sebagian
orang mungkin alergi pada pembahasan filsafat, mereka akan sigap menutup
telinga, beberapa akan lebih memilih kantuk dan bagi yang tidak terbiasa
pasti sudah tewas duluan sebelum sempat menangkap maksudnya.
Hujan memang mampu menyelipkan segala rasa yang ada termasuk
duka, namun aku lebih memilih keping bahagia sebagai kadar yang paling banyak
di dalamnya. Entah siapa yang memulainya, tapi kita semua tahu bahwa akan ada pelangi
yang datang mengiringi setelah badai reda. Akan ada kemudahan setelah kesulitan, seperti yang disebutkan dua kali berturut-turut dalam surat Al-Insyirah. Setiap orang memaknainya seperti itu, tapi kenapa kita tak
pernah tahu jika kita bahkan bisa menari di tengah iringan badai, memaknai
segalanya semudah mungkin karena meyakini satu hal, badai singgah sementara, seperti
sebuah lirik lagu “badai pasti berlaluu..~” kemudian datang lagi terus berlalu
lagi kemudian datang lagii.. hehe bener yah? Tak bisa dipungkiri, inilah hidup,
maka, nikmati detiknya.
Seperti yang sering kita dengar, kehidupan ini bergantung
bagaimana sudut pandang yang kita ambil padanya. Mungkin bagi si A, hujan
sangat menyebalkan karna menghalangi perjalanan bisnisnya, atau pendapat B
tentang hujan yang tiba-tiba datang dan membatalkan acara penting yang telah ia
susun jauh-jauh hari, tentang si C yang langsung mempercepat laju kendaraan
untuk selamat dari hujan tanpa menyadari apa yang dilakukannya berbahaya bagi
dirinya? Lalu apa kabar si D yang telah menunggu cukup lama dipinggiran toko
agar dirinya tidak kebasahan dan berkasnya terselamatkan? Tapi ternyata
dibagian bumi sana ada E yang membutuhkan hujan untuk kelangsungan hidup keluarganya?
Ya, itulah salah satu cara Tuhan menggilir kebahagian mahluknya. Bagiku, hujan
bukan sekedar air yang jatuh dari langit. Hujan itu rahmat, datang bersama
malaikat yang mengurusi jumlah dan kecepatannya.
Hujan tak tahu harus hadir dalam keadaan seperti apa, saat
langit mendung atau mungkin saat langit cerah dan ia tetap mendapat perintah. Hujan
tidak bisa memilih dimana, tidak pernah tau kapan diciptakan dan kapan ia harus
kembali. Yang dia tau sebagian titik airnya akan membekas, menggenang lalu
hilang. Yang ia tahu, ia telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Seringkali kita –sebagai manusia- mengabaikan hal-hal kecil
yang patut disyukuri kehadiran nya, bahkan tak jarang mengeluhkannya. Padahal segala
hal Tuhan ciptakan dengan alasan, ada makna yang terkandung di dalamnya.
Kita memang tidak bisa menolak, tapi masih bisa
memilih, ingin menikmatinya atau berkeluh kesah tanpa arti? Silahkan putuskan
untuk meneruskan perjalanan atau ingin berteduh hingga terasa cukup.